Sabtu, 24 Mei 2014

CERITA DARI KAB. KARANGANYAR



AIR TERJUN PRINGGONDANI

            Air Terjun Pringgodani terletak di Kalurahan Blumbang 4 km dari terminal bus Tawangmangu, 1300 meter diatas permukaan air laut. Pringgodani adalah obyek wisata sejarah berupa rumah jogla sebagai tempat bersemedi. Tempat ini merupakan petilasan Eyang Cokronegoro, disebelahnya terdapat mata air sendang pengantin yang disakralkan,terdiri dari tujuh kucuran air dari lereng bukit. Para peziarah yang datang biasanya mandi di sendang sebagai puncak ritual mereka pada tengah malam. Sendang itu sendiri berada di atas air terjun, dan tempat inilah yang biasa dikunjungi sedangkan air terjunnya hanya bisa dilihat dari kejauhan karena lokasinya yang sulit dijangkau. Untuk dapat mencapai lokasi pengunjung harus berjalan kaki melewati jalan naik turun di pinggir tebing curam sejauh +/- 1 km dari jalan raya.
            Menurut cerita dari penduduk setempat, Pertapan Pringgodani merupakan tempat bertapa seseorang yang pernah mengalahkan Prabu Boko pada jaman kerajaan Kaling. Sedangkan menurut penganut aliran spiritual, Pringgodani adalah wilayah kekuasaan Prabu Brawijaya V (raja majapahit terakhir) yang diserahkan kepada Eyang Koconegoro, ditempat inilah Eyang Koconegoro bertapa dengan tongkat menancap di tanah mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta, memohon untuk dapat hidup abadi, konon tongkat tersebut kini telah tumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut kayu lewung. Dalam bertapa, apa yang diinginkan oleh Eyang Koconegoro belum dipenuhi oleh Sang Pencipta dan sesuai petunjuk gurunya agar keinginannya dipenuhi maka beliau harus naik ke puncak Lawu dan kembali bersemedi disana. Tentang kebenarannya kita tak pernah tahu.
            Pringgondani bukanlah tempat ibadah agama tertentu. Di masa lalu, di sini pernah hidup tokoh spiritual yang dikeramatkan masyarakat, Eyang Panembahan Kotjo Nagoro (kadang ditulis Ki Ageng Kaca Negara). Masyarakat meyakini Eyang Kaca tak lain adalah Raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit, yang memindahkan kerajaannya ke Gunung Lawu setelah Majapahit dikuasai puteranya, Raden Patah. Ada keyakinan unik, yaitu selama berada di petilasan, tidak boleh bercerita mengenai sejarah Pringgondani dan siapa Eyang Kaca, sebutan hormat warga Lawu bagi Ki Ageng Kaca Negara. Pamali. Petugas petilasan Pringgondani mengatakan, “Kalau di sini, tidak boleh bercerita. Kalau sudah di bawah, baru boleh.”
            Petilasan ini berupa rumah ukuran 5 meter x 5 meter yang disebut sanggar. Di terasnya terdapat empat arca prajurit sedang duduk dengan sikap-sikap Buddha. Di dalamnya ada altar bertuliskan “Eyang Panembahan Kotjo Nagoro”. Tertancap payung di atas altar. Di depan altar terdapat bokor untuk menancapkan hio dan anglo. Altar inilah pusat kegiatan di Pringgondani, tempat orang menjalani laku prihatin dan bertapa. Setiap hari selalu ada yang datang, kata Lina, namun Pringgondani paling ramai dikunjungi pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sedangkan pada bulan Suro, tempat ini penuh selama sebulan. Sebagai rangkaian laku prihatin adalah berendam di Sendang Gedang, Sendang Temanten, Sendang Kauripan yang letaknya tak jauh dari pringgondani.

ASTANA GIRI BANGUN

            Astana Giribangun adalah sebuah museum bagi keluarga mantan presiden Indonesia ke-2, Suharto. yang saat ini di gunakan sebagai tempat berziarah & melakukan wisata. Astana Giri Bangun dibangun pada tahun 1974 oleh Yayasan Mangadeg Surakarta, dan diresmikan penggunaannya para tahun 1976. Peresmian itu ditandai dengan pemindahan sisa jenazah Soemaharjomo (ayahanda Tien Soharto) dan Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo. Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 666 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, MN II, dan MN III. Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan, untuk tetap menghormat para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegoro III. Komplek makam ini memiliki tiga tingkatan cungkup (bangunan makam): cungkup Argo Sari teletak di tengah-tengah dan paling tinggi, di bawahnya, terdapat cungkup Argo Kembang, dan paling bawah adalah cungkup Argo Tuwuh. Argo Sari.
            Makam yang luas itu terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya adalah bagian utama yang disebut Cungkup Argosari yang berada di dalam ruangan tengah seluas 81 meter persegi dengan dilindungi cungkup berupa rumah bentuk joglo gaya Surakarta beratap sirap. Dinding rumah terbuat dari kayu berukir gaya Surakarta, dan Di ruangan ini hanya direncanakan untuk lima makam. Saat ini paling barat adalah makam Siti Hartini, di tengah terdapat makam pasangan Soemarharjomo (ayah dan ibu Tien) dan paling timur adalah makam Ibu Tien Soeharto. Tepat di sebelah barat makam Ibu Tien terdapat makam Soeharto, Masih di bagian Argosari, tepatnya di emperan cungkup seluas 243 meter persegi, terdapat tempat yang direncanakan untuk makam 12 badan.
            Argo Kembang. Bagian yang berada di luar lokasi utama adalah Cungkup Argokembang seluas 567 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 116 badan. Yang dapat dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang dianggap berjasa kepada yayasan yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan di astana tersebut.
            Argo Tuwuh. Paling luar adalah Cungkup Argotuwuh seluas 729 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 156 badan. Seperti halnya Cungkup Argo Kembang, yang berhak dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang mengajukan permohonan. Pintu utama Astana Giribangun terletak di sisi utara. Sisi selatan berbatasan langsung di jurang yang di bawahnya mengalir Kali Samin yang berkelok-kelok indah dipandang dari areal makam. Terdapat pula pintu di bagian timur kompleks makam yang langsung mengakses ke Astana Mangadeg.
            Selain bangunan untuk pemakaman, terdapat sembilan bangunan pendukung lainnya. Di antaranya adalah masjid, rumah tempat peristirahatan bagi keluarga Soeharto jika berziarah, kamar mandi bagi peziarah utama, tandon air, gapura utama, dua tempat tunggu atau tempat istirahat bagi para wisatawan, rumah jaga dan tempat parkir khusus bagi mobil keluarga
Di bagian bawah, terdapat ruang parkir yang sangat luas. Di masa Soeharto berkuasa, di areal ini terdapat puluhan kios pedagang yang berjualan suvenir maupun makanan untuk melayani peziarah dan wisatawan. Namun kini di tempat itu tidak diizinkan lagi menjadi tempat berjualan dengan alasan keamanan dan ketenangan.

PUNCAK LAWU

            Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak tertinggi gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketingggian 3.265 m dpl. Kompleks Gunung Lawu ini memiliki luas 400 KM2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang.Terdapat dua buah Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur. Banyak sekali tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sehingga tidak hanya anak muda, tetapi banyak orang tua yang mendaki gunung Lawu untuk berjiarah. Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak gunung Lawu dahulunya adalah merupakan kerajaan yang pertama kali di pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi Masyarakat Jawa terutama mereka yang masih percaya dengan Dunia Gaib. Pernah suatu ketika tempat-tempat keramat di Gunung Lawu ini diobrak-abrik oleh orang-orang yang tidak menyukainya, namun mereka mengalami celaka bahkan mati mengenaskan. Untuk itu bagi para pendaki yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat di gunung Lawu, harap tetap menghargai kepercayaan masyarakat setempat, agar terhindar dari malapetaka.
            Ada dua tujuan utama para wisatawan mengunjungi obyek wisata Puncak Lawu, yaitu :
1. Menikmati keindahan alam berupa hutan dengan flora dan fauna yang khas, udara yang bersih
    dan sejuk serta pemandangan alam yang sangat indah.

2. Melakukan wisata ritual, karena pada kawasan tersebut terdapat banyak sekali
tempat/petilasan Raja Brawijaya V beserta pengikutnya, dan saat ini menjadi tempat melaksanakan ritual bagi para wisatawan.
Berkaitan dengan wisata minat khusus (ritual) di kawasan Puncak Lawu, kegiatan tersebut dilaksanakan hampir setiap saat dan akan mencapai puncaknya pada malam tanggal 1 Muharram (1 Suro) pada penanggalan Jawa. Pada saat tersebut ribuan wisatawan naik ke Puncak Lawu baik dengan tujuan untuk menikmati keindahan alam maupun untuk melakukan ritual menyambut tahun baru penanggalan Jawa.



Obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Puncak Lawu sangat banyak sekali jumlahnya baik yang bersifat keindahan alam yang berupa flora dan fauna maupun tempat bersejarah/petilasan peninggalan Raja Brawijaya V dan pengikut-pengikutnya, antara lain :
1. Sumur Jolotundo
    Di lokasi ini raja Brawijaya V menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu.
2. Lumbung Selayur
   Di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan/perbekalan
   para pengikut Raja Brawijaya V.
3. Pawon Sewu
    Pawon Sewu terletak pada peretngahan perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu. Di
    tempat ini para pengikut Raja Brawijaya V mendirikan dapur untuk memasak makanan
4. Gua Selarong.
   Gua ini dimanfaatkan para pengikut Raja Brawijaya V untuk bermalam sekaligus sebagai  
   tempat pemantauan.
5. Sendang Intan.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, di sendang ini para pendaki/wisatawan dapat memohon berkah dengan cara minum air langsung ke mulut masing-masing dengan menengadahkan muka. Menurut kepercayaan tersebut semakin banyak air yang didapat semakin banyak pula berkah yang diperoleh.
Puncak gunung Lawu dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat muksa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, setelah melewati candi Ceto maupun situs-situs purbakala lainnya.




PURA PAMECAKAN

            Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk. Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII.
            Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura Pasek).




PURI TAMAN SARASWATI

            Komplek pertamanan yang dibangun di lereng perbukitan berada ditengah hutan pinus sebagai arena meditasi dan upacara ritual bagi masyarakat Hindu setempat dalam memuja dan mengagungkan Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta. Di puri yang bernuansa ketenangan, keteduhan dan kesejukan ini didirikan Patung Dewi Saraswati, pencerminan sumber pengetahuan sebagai landasan kuat dalam membangun kehidupan umat manusia.
Saraswati adalah dewi yang dipuja dalam agama weda. Nama Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga dalam sastra Purana (kumpulan ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan. Dalam aliran Wedanta, Saraswati di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek pengetahuan — sakti — dari Brahman. Sebagaimana pada zaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
            Penggambaran Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih, terkesan sopan, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para pelajar pada kesahajaan. Saraswati dapat digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci darinya, yang mana semua itu merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak. Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
            Lontar (buku), adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan ilmu sejati. Ganitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual. Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan. Damaru (kendang kecil). Angsa merupakan simbol yang sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya yang sempurna, memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang baik dan yang buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi, bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian. Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, yang mana adalah simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, sebab merak sesekali waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.