AIR
TERJUN PRINGGONDANI
Air Terjun Pringgodani terletak di Kalurahan Blumbang 4 km
dari terminal bus Tawangmangu, 1300 meter diatas permukaan air laut.
Pringgodani adalah obyek wisata sejarah berupa rumah jogla sebagai tempat
bersemedi. Tempat ini merupakan petilasan Eyang Cokronegoro, disebelahnya
terdapat mata air sendang pengantin yang disakralkan,terdiri dari tujuh kucuran
air dari lereng bukit. Para peziarah yang datang biasanya mandi di sendang
sebagai puncak ritual mereka pada tengah malam. Sendang itu sendiri berada di
atas air terjun, dan tempat inilah yang biasa dikunjungi sedangkan air
terjunnya hanya bisa dilihat dari kejauhan karena lokasinya yang sulit
dijangkau. Untuk dapat mencapai lokasi pengunjung harus berjalan kaki melewati
jalan naik turun di pinggir tebing curam sejauh +/- 1 km dari jalan raya.
Menurut cerita dari penduduk
setempat, Pertapan Pringgodani merupakan tempat bertapa seseorang yang pernah
mengalahkan Prabu Boko pada jaman kerajaan Kaling. Sedangkan menurut penganut aliran
spiritual, Pringgodani adalah wilayah kekuasaan Prabu Brawijaya V (raja
majapahit terakhir) yang diserahkan kepada Eyang Koconegoro, ditempat inilah
Eyang Koconegoro bertapa dengan tongkat menancap di tanah mendekatkan diri
kepada sang Maha Pencipta, memohon untuk dapat hidup abadi, konon tongkat
tersebut kini telah tumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut kayu lewung. Dalam
bertapa, apa yang diinginkan oleh Eyang Koconegoro belum dipenuhi oleh Sang
Pencipta dan sesuai petunjuk gurunya agar keinginannya dipenuhi maka beliau
harus naik ke puncak Lawu dan kembali bersemedi disana. Tentang kebenarannya
kita tak pernah tahu.
Pringgondani bukanlah
tempat ibadah agama tertentu. Di masa lalu, di sini pernah hidup tokoh
spiritual yang dikeramatkan masyarakat, Eyang Panembahan Kotjo Nagoro (kadang
ditulis Ki Ageng Kaca Negara). Masyarakat meyakini Eyang Kaca tak lain adalah
Raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit, yang memindahkan kerajaannya ke
Gunung Lawu setelah Majapahit dikuasai puteranya, Raden Patah. Ada keyakinan
unik, yaitu selama berada di petilasan, tidak boleh bercerita mengenai sejarah
Pringgondani dan siapa Eyang Kaca, sebutan hormat warga Lawu bagi Ki Ageng Kaca
Negara. Pamali. Petugas petilasan Pringgondani mengatakan, “Kalau di sini,
tidak boleh bercerita. Kalau sudah di bawah, baru boleh.”
Petilasan ini berupa rumah ukuran 5
meter x 5 meter yang disebut sanggar. Di terasnya terdapat empat arca prajurit
sedang duduk dengan sikap-sikap Buddha. Di dalamnya ada altar bertuliskan
“Eyang Panembahan Kotjo Nagoro”. Tertancap payung di atas altar. Di depan altar
terdapat bokor untuk menancapkan hio dan anglo. Altar inilah pusat kegiatan di
Pringgondani, tempat orang menjalani laku prihatin dan bertapa. Setiap hari
selalu ada yang datang, kata Lina, namun Pringgondani paling ramai dikunjungi
pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sedangkan pada bulan Suro, tempat
ini penuh selama sebulan. Sebagai rangkaian laku prihatin adalah berendam di
Sendang Gedang, Sendang Temanten, Sendang Kauripan yang letaknya tak jauh dari pringgondani.
ASTANA GIRI BANGUN
Astana Giribangun adalah sebuah museum bagi keluarga mantan presiden Indonesia ke-2, Suharto. yang saat ini di gunakan sebagai tempat berziarah & melakukan wisata. Astana Giri Bangun dibangun pada tahun 1974 oleh Yayasan Mangadeg Surakarta, dan diresmikan penggunaannya para tahun 1976. Peresmian itu ditandai dengan pemindahan sisa jenazah Soemaharjomo (ayahanda Tien Soharto) dan Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo. Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 666 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, MN II, dan MN III. Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan, untuk tetap menghormat para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegoro III. Komplek makam ini memiliki tiga tingkatan cungkup (bangunan makam): cungkup Argo Sari teletak di tengah-tengah dan paling tinggi, di bawahnya, terdapat cungkup Argo Kembang, dan paling bawah adalah cungkup Argo Tuwuh. Argo Sari.
Makam yang luas itu terdiri dari
beberapa bagian. Di antaranya adalah bagian utama yang disebut Cungkup Argosari
yang berada di dalam ruangan tengah seluas 81 meter persegi dengan dilindungi
cungkup berupa rumah bentuk joglo gaya Surakarta beratap sirap. Dinding rumah
terbuat dari kayu berukir gaya Surakarta, dan Di ruangan ini hanya direncanakan
untuk lima makam. Saat ini paling barat adalah makam Siti Hartini, di tengah
terdapat makam pasangan Soemarharjomo (ayah dan ibu Tien) dan paling timur
adalah makam Ibu Tien Soeharto. Tepat di sebelah barat makam Ibu Tien terdapat
makam Soeharto, Masih di bagian Argosari, tepatnya di emperan cungkup seluas
243 meter persegi, terdapat tempat yang direncanakan untuk makam 12 badan.
Argo Kembang. Bagian yang berada di luar lokasi utama adalah Cungkup Argokembang seluas 567 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 116 badan. Yang dapat dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang dianggap berjasa kepada yayasan yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan di astana tersebut.
Argo Kembang. Bagian yang berada di luar lokasi utama adalah Cungkup Argokembang seluas 567 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 116 badan. Yang dapat dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang dianggap berjasa kepada yayasan yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan di astana tersebut.
Argo Tuwuh. Paling luar adalah
Cungkup Argotuwuh seluas 729 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 156
badan. Seperti halnya Cungkup Argo Kembang, yang berhak dimakamkan di lokasi
itu adalah para pengurus Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran
lainnya yang mengajukan permohonan. Pintu utama Astana Giribangun terletak di
sisi utara. Sisi selatan berbatasan langsung di jurang yang di bawahnya
mengalir Kali Samin yang berkelok-kelok indah dipandang dari areal makam.
Terdapat pula pintu di bagian timur kompleks makam yang langsung mengakses ke
Astana Mangadeg.
Selain bangunan untuk pemakaman,
terdapat sembilan bangunan pendukung lainnya. Di antaranya adalah masjid, rumah
tempat peristirahatan bagi keluarga Soeharto jika berziarah, kamar mandi bagi
peziarah utama, tandon air, gapura utama, dua tempat tunggu atau tempat istirahat
bagi para wisatawan, rumah jaga dan tempat parkir khusus bagi mobil keluarga
Di bagian bawah, terdapat ruang parkir yang sangat luas. Di masa Soeharto berkuasa, di areal ini terdapat puluhan kios pedagang yang berjualan suvenir maupun makanan untuk melayani peziarah dan wisatawan. Namun kini di tempat itu tidak diizinkan lagi menjadi tempat berjualan dengan alasan keamanan dan ketenangan.
Di bagian bawah, terdapat ruang parkir yang sangat luas. Di masa Soeharto berkuasa, di areal ini terdapat puluhan kios pedagang yang berjualan suvenir maupun makanan untuk melayani peziarah dan wisatawan. Namun kini di tempat itu tidak diizinkan lagi menjadi tempat berjualan dengan alasan keamanan dan ketenangan.
PUNCAK LAWU
Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak tertinggi gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketingggian 3.265 m dpl. Kompleks Gunung Lawu ini memiliki luas 400 KM2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang.Terdapat dua buah Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur. Banyak sekali tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sehingga tidak hanya anak muda, tetapi banyak orang tua yang mendaki gunung Lawu untuk berjiarah. Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak gunung Lawu dahulunya adalah merupakan kerajaan yang pertama kali di pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi Masyarakat Jawa terutama mereka yang masih percaya dengan Dunia Gaib. Pernah suatu ketika tempat-tempat keramat di Gunung Lawu ini diobrak-abrik oleh orang-orang yang tidak menyukainya, namun mereka mengalami celaka bahkan mati mengenaskan. Untuk itu bagi para pendaki yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat di gunung Lawu, harap tetap menghargai kepercayaan masyarakat setempat, agar terhindar dari malapetaka.
Ada dua tujuan utama para wisatawan mengunjungi obyek wisata Puncak Lawu, yaitu :
1. Menikmati keindahan alam berupa hutan dengan flora dan fauna yang khas, udara yang bersih
dan sejuk serta pemandangan alam yang
sangat indah.
2. Melakukan wisata ritual, karena pada kawasan tersebut terdapat banyak sekali
tempat/petilasan
Raja Brawijaya V beserta pengikutnya, dan saat ini menjadi tempat melaksanakan
ritual bagi para wisatawan.
Berkaitan
dengan wisata minat khusus (ritual) di kawasan Puncak Lawu, kegiatan tersebut
dilaksanakan hampir setiap saat dan akan mencapai puncaknya pada malam tanggal
1 Muharram (1 Suro) pada penanggalan Jawa. Pada saat tersebut ribuan wisatawan
naik ke Puncak Lawu baik dengan tujuan untuk menikmati keindahan alam maupun
untuk melakukan ritual menyambut tahun baru penanggalan Jawa.
Obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Puncak Lawu sangat banyak sekali jumlahnya baik yang bersifat keindahan alam yang berupa flora dan fauna maupun tempat bersejarah/petilasan peninggalan Raja Brawijaya V dan pengikut-pengikutnya, antara lain :
1. Sumur Jolotundo
Di lokasi ini raja Brawijaya V menerima
wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu.
2.
Lumbung Selayur
Di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan
untuk menyimpan bahan makanan/perbekalan
para pengikut Raja Brawijaya V.
3.
Pawon Sewu
Pawon Sewu terletak pada peretngahan
perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu. Di
tempat ini para pengikut Raja Brawijaya V
mendirikan dapur untuk memasak makanan
4.
Gua Selarong.
Gua ini dimanfaatkan para pengikut Raja
Brawijaya V untuk bermalam sekaligus sebagai
tempat pemantauan.
5.
Sendang Intan.
Menurut
kepercayaan penduduk setempat, di sendang ini para pendaki/wisatawan dapat
memohon berkah dengan cara minum air langsung ke mulut masing-masing dengan
menengadahkan muka. Menurut kepercayaan tersebut semakin banyak air yang
didapat semakin banyak pula berkah yang diperoleh.
Puncak gunung Lawu
dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat muksa Prabu Brawijaya dari Kerajaan
Majapahit, setelah melewati candi Ceto maupun situs-situs purbakala lainnya.
PURA PAMECAKAN
Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk. Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII.
Keterlibatan raja dari Keraton
Surakarta dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah
cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang
yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan
Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang
adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di
kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang
menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang
patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang
dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki
keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan
kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten
Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura
Pasek).
PURI TAMAN SARASWATI
Komplek pertamanan yang dibangun di lereng perbukitan berada ditengah hutan pinus sebagai arena meditasi dan upacara ritual bagi masyarakat Hindu setempat dalam memuja dan mengagungkan Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta. Di puri yang bernuansa ketenangan, keteduhan dan kesejukan ini didirikan Patung Dewi Saraswati, pencerminan sumber pengetahuan sebagai landasan kuat dalam membangun kehidupan umat manusia.
Saraswati adalah dewi yang dipuja dalam agama weda. Nama Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga dalam sastra Purana (kumpulan ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan. Dalam aliran Wedanta, Saraswati di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek pengetahuan — sakti — dari Brahman. Sebagaimana pada zaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
Penggambaran Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih, terkesan sopan, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para pelajar pada kesahajaan. Saraswati dapat digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci darinya, yang mana semua itu merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak. Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
Lontar (buku), adalah kitab suci
Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan ilmu sejati. Ganitri
(tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu
pengetahuan. Damaru (kendang kecil). Angsa merupakan simbol yang sangat populer
yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa
juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya yang
sempurna, memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang
baik dan yang buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang
memiliki makna filosofi, bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani
kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian. Selain angsa,
juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, yang mana adalah
simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, sebab merak sesekali waktu
mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.